Program Kampanye pluralisme dan Kebebasan beragama
Relevance of the action
Sulit dipungkiri bahwa fenomena akhir-akhir ini memperlihatkan proses radikalisasi yang sudah lama ditengarai berlangsung dalam kelompok-kelompok keagamaan. Kecenderungan tersebut memperoleh benih-benihnya dari sikap intoleransi yang agaknya tertanam cukup kuat dalam masyarakat kita, seperti diperlihatkan oleh hasil penelitian berkala Freedom Institute – JIL – PPIM
Di dalam konteks yang sama, mayoritas umat Islam – terwakili dalam organisasi massa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – yang selama ini diyakini bersikap “moderat”, ditengarai cenderung menjadi silent majority yang tidak memberi respons memadai. Apalagi setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan 11 fatwa yang kontroversial, termasuk di dalamnya pelarangan Ahmadiyah, Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme. Dalam kolomnya Hamid Basyaib, pemikir dan koordinator JIL, malah menyebut peristiwa keluarnya 11 fatwa MUI tersebut sebagai tanda “runtuhnya mitos moderasi Islam Indonesia” (Media Indonesia, 11 Agustus 2005).
Sudah tentu, kedua kecenderungan itu menjadi makin problematis di tengah krisis ekonomi berkelanjutan yang diperparah oleh kebijakan “rezim negara-pedagang”. Proses-proses penyesuaian struktural (structural adjustments) lewat naiknya harga BBM, TDL (Tarif Dasar Listrik), biaya sekolah, serta penguasaan sumber-sumbermdaya alam oleh elite bisnis (misalnya, kasus monopoli sumberdaya air) yang berkolusi dengan elite politik, semakin memperparah dan memperlebar jurang antar-kelompok.
Dari beberapa refleksi yang dilakukan berbagai komponen aktivis gerakan pluralisme dan good governance di Jawa Timur, sampai saat ini proses penyadaran tentang keberagaman tidak cukup mengena tatkala peran yang dimainkan oleh elemen masyarakat sipil hanya berkutat di wilayah basis pengorganisasian dengan isu ekosob saja. Diperlukan ruang dan informasi yang agak spesifik untuk menympaikan berbagai fakta keberagaman. Dari upaya pengorganisasian dan training tentang pluralisme, media untuk mewacanakan dan mensosialisasikan masih sangat minim, bahkan umumnya mesjid atau rumah ibadah dikuasai oleh media dan aktor fundamentalis atau konservatif.
Pelarangan dan penyerangan kelompok LDII di kabupaten Lamongan oleh masyarakat dan MUI baru-baru ini adalah fakta konkritnya, begitu juga dengan gejolak di wilayah Trowulan Mojokerto. Untuk kasus yang terakhir disebut tadi, ratusan massa nahdliyyin mendatangi rumah kepala desa setempat karena kades tersebut mendesak dan menuntut acara pengajian dan buka bersama yang diselenggarakan warga tersebut dibubarkan dengan dalih tidak mempunyai izin.Dari beberapa pengakuan warga, motivasi pelarangan oleh kades lebih dipicu oleh ketidaksamaan ideologi antara kades dengan pihak penyelenggara kegiatan. Peristiwa lain yang lebih parah adalah penyerbuan ribuan massa kepadepokan yayasan kanker dan narkoba cahaya alam (YKNCA) di probolinggo dan pondok I,tikaf pimpinan Yusman Roy oleh massa yan mengatas namakan FORMAIS (Forum Masyarakat Islam), PKS, HTI, juga FOMPI ( Forum Peduli Umat Islam).
Di Tulungagung sendiri sempat terjadi aksi anarkis oleh ribuan massa dengan membakar pondok pesantren Ma’dinul Asror didesa bono, kecamatan Pakel. Walaupun dalam peristiwa ini polisi datang lebih duluan dari massa toh akhirnya juga tidak mampu menghalau ribuan massa yang rudah tersulut emosi. Peristiwa yang sama juga hampir terjadi desa pojok kecamatan Campurdarat antar massa aliran yang berbeda.
Paska penyerbuan tersebut, informasi dari beberapa sumber dan pengamatan kami langsung dilapangan banyak komunitas-kemunitas keagamaan yang kemudian hari melakukan aktivitas keagamaannya secara sembunyi-sembunyi. Tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa mereka khawatir dapat memicu konflik dan permusuhan antar sesama.
Gejala intoleransi yang berkembang di masyarakat seakan menemukan fakta pembenar manakala ruang publik melalui media massa telah dipenuhsesaki oleh berbagai hal yang antipluralisme dan miskin suntikan kebergamaan. Iklan-iklan di media massa pun masih belum banyak yang mengangkat persoalan pluralisme dalam hal hubungan antar agama dan antar etnis. Sinetron ataupun film yang ada pun tidak banyak mengangkat persoalan identitas ini. Buletin mesjid maupun bulletin yang disebarkan di berbagai jemaah agama-agama masih difokuskan pada pandangan konservatif yang melihat pada pengembangan agamanya sendiri, tanpa melihat konteks dengan masyarakat kita yang beragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar