Rabu, 22 Oktober 2008

FATWA SESAT MUI TENTANG PENENTUAN LEBARAN AL MUHDLOR DI TULUNGAGUNG

Senin, 29 September 2008 (DUTA MASYARAKAT)
Jamaah Al Muhdhor Awali Lebaran
TULUNGAGUNG—Pemerintah dan PBNU baru menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1429 H pada sidang itsbat Senin (29/9) sore ini tapi puluhan jamaah Al Muhdhor sudah mengawali berlebaran Ahad (29) kemarin. Para jamaah Al Muhdhor menggelar Salat Idul Fitri di Masjid Nur Muhammad Desa Wates Kec.
Sumbergempol Kab. Tulungagung kemarin pagi sekitar pukul 05.45.

Para jamaah pengikut ajaran Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhor ini menggelar Salat Ied di dalam masjid, diikuti sekitar 50 orang dari total sekitar 100 jamaah yang berasal dari berbagai kota di Indonesia.

“Memang benar kami melaksanakan Salat Ied sebagai tanda telah tiba Hari Raya Idul Fitri,” kata muadzin Masjid Nur Muhammad, Ali Mashud, usai salat Ied.
Ali mengatakan, alasan berlebaran lebih awal tiga hari itu karena puasa yang mereka lakukan juga lebih awal yakni pada 28 Agustus 2008 sehingga jumlah puasa tetap 30 hari. Jumlah puasa itu sama dengan ibadah puasa warga NU dan Muhammadiyah. “Sesuai petunjuk Kiai Hasyim (ahli Falaq) yang menghitung dan menentukan waktu puasa demikian, jadi kami mengikutinya memulai puasa lebih awal 3 hari,” katanya.

Namun ketika ditanya dasar penentuan waktu mulai puasa tersebut, Ali yang mengaku sebagai menantu Habib Ahmad sekaligus pendiri Yayasan Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhor, menolak menjelaskan dengan alasan belum saatnya. “Nanti kalau waktunya sudah tiba akan dijelaskan oleh Kiai Hasyim sendiri, termasuk dasar apa yang dipakai menetapkan awal puasa,” katanya.

Perbedaan ajaran jamaah ini diakui Ali hanya pada hal waktu ibadah puasa saja. Sedang ajaran Islam lain sama. Dan meski semua penetapan awal puasa dilakukan mengacu pada putusan ahli falag Kiai Hasyim, namun dia tidak mau menunjukkan keberadaan kiai tersebut. Begitu pula ketika wartawan akan meliput jalannya Salat Ied, Ali keberatan dengan alasan ibadah adalah hak setiap warga negara.
“Saya bersedia menjawab pertanyaan Anda, tapi sebaliknya tolong hormati orang yang sedang beribadah,” katanya.

Sempat terjadi perdebatan kecil, termasuk dengan beberapa aparat dari Polsek Sumbergempol yang datang memantau kondisi kamtibmas di sekitar masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Menara itu. Nama masjid ini karena di sebelah selatan berdiri menara berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 30 meter.
Namun akhirnya Ali yang semula ditugasi menjadi muadzin mau menemui para tamunya. Dia pun meninggalkan sementara Salat Ied yang tetap digelar dengan imam Habib Hamid putra Habib Ahmad itu. Dengan diikuti sekitar 50 jamaah, terdiri atas 15 orang pria, sisanya wanita dan anak-anak. Usai Salat Ied jamaah pria serta wanita dan anak-anak langsung menggelar Kenduri Syawal yakni “kendurenan” dengan makanan yang dibawa masing-masing jamaah wanita.
Makanan dibagi rata kepada seluruh jamaah yang hadir, dengan wadah kertas. Beberapa di antara jamaah tampak langsung menyantapnya tanpa sungkan meski di sekitar lokasi masjid masih banyak warga yang puasa. Salah seorang warga di sekitar masjid mengatakan setiap tahun jamaah Al Muhdhor selalu melaksanakan puasa lebih awal tiga hari sehingga merayakan Lebaran pun lebih awal. Malam hari sampai pagi menjelang Salat Ied juga berkumandang takbir. “Tapi tahun ini takbir tidak dilakukan melalui pengeras suara, hanya di dalam masjid saja. Karena khawatir terjadi konflik di masyarakat,” tutur sumber yang enggan disebutkan namanya tadi.

Yayasan ini memiliki cabang di Lampung Tengah, Sumatera. Di sana jumlah jamaahnya jauh lebih banyak. Tidak heran jika anggota jamaah ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya di Pulau Jawa tapi juga Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan NTT.

Garis Keturunan Nabi

Salah seorang anggota jamaah Al Muhdhor, Sulton (42), warga Desa Trenceng Kecamatan Sumbergempol, menuturkan, dirinya tidak tahu dasar penetapan awal Ramadhan ini. “Sebagai pengikut hanya melaksanakan apa yang diajarkan guru,” papar Sulton yang mengaku menjadi jamaah sejak tahun 1980-an. Diungkapkan Sulton, para jamaah umumnya tertarik berguru kepada Habib Ahmad karena dia dipercaya memiliki garis keturunan langsung dengan Rasulullah Muhammad SAW. Karena itu jamaah yakin bisa mendapatkan ajaran Islam langsung dari garis keturunan Nabi, bukan dari ustadz atau ustadzah yang juga belajar dari orang lain. “Umumnya kita semua tertarik belajar di sini karena langsung pada keturunan Kanjeng Nabi. Bukan dari perantara,” ungkapnya.

Diingatkan MUI

Secara terpisah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tulungagung, KH Syafi’i Abdulrohman, ketika dimintai pendapatnya mengatakan, pihaknya sudah memantau keberadaan jamaah ini sejak tiga tahun lalu serta sudah memberikan peringatan kalau penetapan puasa lebih awal tanpa dasar yang jelas itu salah. “Berdasarkan keterangan Pak Hasyim (Kiai Hasyim, Red.) kami simpulkan kalau ajaran demikian sesat, karena ditentukan berdasarkan pengakuan dari wahyu Habib Ahmad,” kata KH Syafi’i ketika ditemui di ponpes asuhannya, Ponpes Panggung.

Selain itu Kiai Hasyim juga tidak berguru langsung kepada Habib Ahmad, yang telah meninggal sekitar 1997 silam. Wahyu tersebut, dari pengakuannya, diterima saat melakukan semedi di makam Habib Ahmad ketika dia menderita sakit. “Dia menerangkan kalau penyakit bisa sembuh tapi harus melaksanakan ajaran puasa lebih awal 3 hari,” katanya.

Karena itu, MUI memberikan peringatan kepada Kiai Hasyim agar mengembalikan ajarannya sesuai Syariat Islam. Bukan berdasarkan modifikasi pengalaman spiritual pribadi sebab hal itu bisa sesat. Namun dia mengelak kalau dinilai mengajak umat sebab pengikutnya sendiri yang mengikutinya. “Bahkan dia bersedia jamaahnya dibubarkan karena memang merasa tidak pernah mengajak melakukan demikian,” tegasnya.

Sore Ini NU Rukyat

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menunggu hasil rukyat (melihat bulan dengan mata telanjang, Red.) guna menentukan Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Rukyatul hilal akan digelar Senin 29 September 2008 sore ini.
“Ada 13 titik yang digunakan menjadi lokasi rukyat di Jawa Timur. Di antaranya di Slotreng Jember, Tanjung Kodok Lamongan, Malang, dan Bangkalan,” kata Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Ahad (28/9) kemarin.

Hasil rukyat tersebut nantinya dibawa ke sidang itsbat yang digelar di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Dalam rapat tersebut semua hasil rukyat dari seluruh Indonesia dibahas para ahli rukyat PBNU. Setelah itu jatuhnya Hari Raya Idul Fitri baru bisa dipastikan.

Menurut Kiai Miftach, satu saja hasil rukyat yang digelar pada 29 September itu menunjukkan adanya penampakan bulan, maka sidang isbat akan memutuskan hari raya pada tanggal 30 September. “Artinya, sidang ini sudah bisa dijadikan rujukan dalam mengambil dasar hukum penentuan hari raya,” ujarnya.
Sebaliknya jika dalam rukyat yang dilakukan pada 29 September belum berhasil melihat bulan, maka NU akan menggunakan metode istikmal, yakni menyempurnakan puasa selama 30 hari penuh. (sir/mi)

Tidak ada komentar: