Minggu, 07 Juni 2009

NU dan tantangan menjelang satu abad

Resensi

Minggu, 08 November 2008 15:03

NU Liberal Nahdlatul Ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Menjelang berdirinya pada 1926, para ulama NU membentuk Komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mampu mewarnai dunia Islam, khususnya bagi kalangan pesantren. NU didirikan bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan menganut Imam Madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ibn Hambal.

Sampai saat ini, NU telah melewati beberapa fase. Fase ini dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, NU didirikan sampai NU menjadi partai poltik. Fase kedua, NU keluar dari Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai politik sampai keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, NU menjadi gerakan sosial-keagamaan dengan sebutan kembali ke Khittah NU 1926.

Buku ini menjelaskan beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, mulai masalah sosial, politik, khususnya dalam masalah ekonomi warga NU. Buku ini juga memaparkan berbagai rintangan dan hambatan warga NU menjelang satu abad. Kini, NU telah berumur 82 tahun. Umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026.

Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaikan. Sehingga nama NU tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, kritik-kritik muncul dari banyak kalangan muda yang tidak puas dengan kelambanan NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibat ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk organisasi non-pemerintah (ornop). Munculnya ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh dari apa yang diharapkan warga NU (hal. 32).

Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, NU memasuki dunia baru. Sejak berdirinya sampai menjadi partai politik, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Peristiwa itu dinamakan kembali ke khittah. NU sudah lepas dan menjaga jarak dari politik praktis dan kembali ke format awal, yakni sebagai pengayom umat, mengurus dakwah, pendidikan dan pondok pesantren. Inilah salah satu tugas yang harus diperjuangkan NU ke depan. Perjuangan NU harus lebih banyak difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, dakwah, khususnya peningkatan ekonomi warganya.

Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU menjelang satu abad nanti. Pertama, globalisasi dan neoliberalisme. Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju.

Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam yang berjenis lain dan tidak sealiran dengan NU, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah. Mereka sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU.

Sungguh menarik buku ini dijadikan bahan bacaan dan referensi bagi kalangan pesantren dan warga NU pada umumnya. Penulisnya mampu menjelaskan kondisi sosial warga NU, dari masalah politik hingga kondisi sosial-ekonominya.[]

*Peresensi Noviana Herliyanti, adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya Jawa Timur

(pmiikomfaksyahum.wordpress.com, 1 Juli 2008)

Islam Kedamaian

Resensi

Sabtu, 20 Februari 2009 11:34
Judul : Ragam Ekspresi Islam Nusantara
Penerbit : The WAHID Institute, Desember 2008

Jika kita memperhatikan dengan seksama, banyak berita di media massa, "membantu" pencitraan Islam yang bernada negatif. Islam ditampakkan sebagai sebuah agama yang keras, pro kekerasan, dan merasa paling benar. Citra ini benar adanya-golongan Islam tertentu melakukan tindakan dan penyikapan dengan model ini. Sayangnya citra ini cenderung hiperbolik, berorientasi rating, dan menggelapkan wajah Islam yang lain; wajah Islam yang ramah, damai, dan toleran kepada yang lain. Media "membantu" kelompok Islam melainkan sang liyan dengan cara menyakitkan seperti memukul fisik sang liyan atau mengkafirkan sang liyan. Media memang tidak membantu memukul atau membuat seruan tertulis pernyataan dukungan sikap, tapi media "membantu" mereproduksi sikap golongan tersebut. Reproduksi ini bukan tidak mungkin memungkinkan duplikasi (kekerasan) seperti halnya duplikasi mutilasi yang kini marak. Reproduksi ini dapat juga memunculkan pembenaran sikap golongan Islam yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan itu. Pada konteks ini, media bisa menjadi-mengutip Jalaluddin Rakhmat-provokator.

Dampak reproduksi ini dapat dilihat dalam tayangan dan berita media menjelang Amrozi dan kawan-kawan. Banyak simpati, bukan kutukan layaknya bagi pelaku kekerasan, justru berdatangan. Sikap ini bukan datang dari sikap sadar dan tahu tragedi bom Bali semata-mata. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, sikap ini merupakan dampak dari penayangan berturut-turut tindakan Amrozi dan kesedihan orang-orang terdekatnya. Amrozi digambarkan sebagai orang yang melakukan pengeboman karena marah dengan agresi dan arogansi Amerika Serikat (sehingga layak didukung meski korban yang jatuh mayoritas bukan warga Amerika) dan keluarganya digambarkan sedih namun tetap berusaha tegar (sehingga pantas mendapatkan simpati). Sementara korban diperlihatkan dalam durasi yang sebentar. Mereka tenggelam di tengah hirau pikuk curahan hati Amrozi dan kerabatnya. Korban, sebagai yang teraniaya, hanya mendapatkan simpati sekedarnya.

Dampak ini tidak seharusnya terus menyebar ke bagian masyarakat. Siapa berani membayangkan wajah Indonesia di masa depan ketika mayoritasnya mengamini sikap keras Amrozi. Siapa berani beranda-andai jika kekerasan kelak menjadi sesuatu yang dibenarkan ketika menyelesaikan persoalan karena meniru Amrozi. Kita layak prihatin dengan andaian ini. Sikap prihatin ini bukan saja sikap moral tanda peduli, tanpa komitmen untuk menghadirkan berita atau tayangan dari perspektif berbeda. Islam dipandang bukan dengan perspektif marah dan darah. Islam dipandang sebagai agama yang menjanjikan yang damai dan toleran. Inilah yang hendak dihadirkan dalam buku bertajuk Ragam Ekspresi Islam Nusantara. Buku ini merupakan kumpulan berita dalam bentuk suplemen di majalah GATRA dan TEMPO-selanjutnya disebut suplemen WI-sepanjang dua tahun.

Ketika trend berita menunjukkan maraknya Islam garis keras, suplemen WI menunjukkan fakta lain; pertobatan para pengikut Islam garis keras. Fauzi Isman bertobat dan menyatakan keluar dari Jamaah Warsidi yang bercita-cita mendirikan negara Islam termasuk dengan cara kekerasan. Ia melakukannya setelah bertemu dengan eks-tapol PKI yang akan dihukum mati di penjara tempat dia ditahan. Tapol bernama Asep Suryaman itu terus memegangi Yasin sampai nyawanya disetorkan kepada regu tembak. Tapol PKI itu begitu relijius-tak seperti dibayangkan Fauzi selama ini. Fauzi juga merasakan sesal karena istri dan keluarganya yang paling menderita akibat aktivitasnya. Mereka dengan setia menjenguk Fauzi sementara Jamaah Warsidi lain tidak pernah tampak batang hitungnya lagi (h. 83). Suplemen WI juga mewawancarai langsung Nasir Abbas yang sudah bertobat dari Jamaah Islamiyah. Ia bertobat setelah menyaksikan kelakuan anggota JI membunuhi warga sipil termasuk perempuan yang tidak bersalah dalam konflik Poso. Nasir menganggapnya sebagai dosa besar. Sebagai bentuk pertobatannya, Nasir berbicara dengan pelaku kekerasan seperti Hasanuddin (pelaku mutilasi Poso) agar segera hijrah dari jalur kekerasan karena tidak bersesuaian dengan ajaran Nabi SAW (h.85)

Gerakan Islam garis keras ini dianggap bermula dari ketimpangan ekonomi. Suplemen WI memotret pesantren, yang kerap dituding sebagai persemaian benih-benih Islam keras, yang dengan tekun menjalankan bisnis. Dengan titel "Mengikis Fundamentalis dengan Berbisnis", suplemen WI mengisahkan kiprah pesantren Nurul Iman di Parung yang produktif menjalankan usaha pengolahan sampah, perkebunan sawah, dan pabrik roti. Dari usaha ini, pesantren yang diasuh oleh Habib Saggaf bin Mahdi mampu menghidupi delapan ribu santrinya dengan gratis. Paul Wolfowitz, direktur Bank Dunia ketika itu kagum dibuatnya, sehingga mengutus delegasi untuk menyambangi pesantren yang berdiri sejak 1998 itu (h. 45).

Penting dan sangat mendasar adalah memandang teks kitab suci sebagai dasar pembenar gerakan Islam garis keras. Suplemen WI meneropong berbagai literatur klasik dalam bentuk kitab kuning yang lazim diajarkan di pesantren. Dalam kitab Raudlah al-Thalibin karya Yahya bin Sharaf al-Dimasyqi disebutkan bahwa orang kafir (baca; berbeda keyakinan) tidak boleh diperangi. Kecuali, kata KH. Imam Ghazali Said, jika mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam (h. 75). Dengan demikian, bila orang kafir berlaku ramah dan damai maka tidak boleh ditindak memakai kekerasan meskipun mereka memiliki ritual dan keyakinan yang berbeda dengan orang Islam. Pemaknaan yang berbeda ini juga terjadi pada teks kitab suci yang menjadi pembenar kekerasan terhadap perempuan-bahwa perempuan boleh dipukul oleh suaminya jika melakukan nusyuz (pembangkangan). Kekerasan ini harus dilawan, bukan dilestarikan. Bu Nyai Ruqayyah (Bondowoso), Bu Nyai Djuju Zubaidah (Tasikmalaya), Bu Nyai Lilik Nihayah (Cirebon), Baiq Elly Mahmudah (Lombok), dan Shinta Nuriyah Wahid bahkan melakukan advokasi kepada perempuan korban kekerasan psikis maupun seksual (h. 91). Mereka bukan saja pejuang perempuan tetapi pemuka pesantren yang selama ini kerap dianggap sebagai lahan domestikasi dan diskriminasi paling subur.

Buku ini menghadirkan wajah Islam yang menyejukkan. Sesuatu yang disebut oleh Toriq Haddad sebagai pereda rasa cemas atas munculnya kelompok (Islam) dengan rasa toleransi tipis. Kutipan wawancara di suplemen ini, kata pemimpin redaksi majalah TEMPO tersebut, dipilih yang tenang, rileks, dan melegakan seperti meneguk air es di panas terik. Asrori S. Karni, dalam kata pengantarnya, menyatakan bahwa suplemen ini adalah upaya menampilkan wajah moderat kreatif kaum santri arus utama yang selama ini cenderung menjadi "mayoritas diam" (silent majority). Redaktur majalah GATRA ini menilai bahwa kaum santri tipikal ini lebih sepi ing pamrih tapi rame ing gawe; mereka banyak berkreasi tapi tidak terlalu memikirkan publikasi. Publikasi ini seharusnya wajib mengingat kinerja sosial mereka penting menjadi pembelajaran publik luas.

Ungkapan para jurnalis senior ini memang benar adanya. Suplemen ini memandang Islam dalam kerangka kearifan lokal yang penuh harmoni, bukan konfrontasi teologi. Mereka berbeda tapi saling menghargai seperti didedahkan oleh Mpu Tantular dalam slogan "Bhineka Tunggal Ika" sejak Majapahit berkuasa dulu kala. Inilah sesungguhnya wajah Islam Indonesia. Islam Indonesia ini memiliki karakter yang unik; watak kultural dari agama Islam yang berpadu dengan adat istiadat bangsa Indonesia ini menjadi mengemuka-mengutip Gus Dur dalam pengantar buku ini-dan kehilangan watak politisnya. Jika watak politis ini menjadi ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi ideologis maka Islam akan jumud dan rigid. Kejumudan mendatangkan fanatisme yang mendekat pada kekerasan.
Penasaran? Selamat membaca.

(Nurun Nisa')

berfatwa dengan luwes dan kontekstual

Resensi

Kamis, 13 Mei 2009 13:21

Buku

Berfatwa dengan Luwes dan Kontekstual


Oleh:Abdullah Ubaid Mathraji**

Judul : Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli : Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan
Penulis : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : xxv + 110 halaman

Kopi dan rokok pantas dibilang sobat kental atau teman akrab. Di mana ada gelas kotor bekas kopi, tengok saja kanan kiri di sekitarnya biasanya ditemukan abu rokok. Ngudut lan ngopi, merokok sambil minum kopi, begitulah orang Jawa menyebut kebiasaan ini. Arek Jawa Timuran punya tradisi cangkruan, nongkrong di warung kecil pinggir jalan, dimana stok rokok dan kopinya selalu ada. Bocah Jawa Tengahan, khususnya Yogyakarta, akrab dengan tradisi angkringan, metangkring atau duduk dikursi agak tinggi di pinggir jalan. Ngapain? Ngudut lan ngopi. Ada yang hanya melepas lelah, ngobrol ringan, janjian dengan teman, syukuran, hingga konsolidasi politik. Semua dilakoni sambil ngopi lan ngudut.

Itu fenomena yang terjadi di jalanan atau katakanlah di sudut-sudut jalan. Di dunia pendidikan, kopi dan rokok juga tak kalah ramai penggemarnya, terutama kalangan pesantren. Kiai atau ustadz di pesantren seakan-akan ilmunya tak bisa keluar, kalau belum menghisap lintingan tembakau dan menyeruput kopi. Apalagi kalau di forum diskusi seperti musyawarah, bahtsul masail, halaqah, maka jangan coba-coba memfasilitasi mereka di ruangan tertutup apalagi berpendingin atau AC, bisa-bisa alarm otomatisnya berdering. Gambaran ini tentu saja tidak semuanya, tapi ini memang ghalib dilakoni. Saking lumrahnya, kebiasaan ini membudaya dan mendarah daging.

Namun, belum lama ini, penikmat rokok sempat memicingkan kedua alisnya. Ada apa gerangan? Mereka mendengar kabar larangan merokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Ada-ada saja," begitu kelakar sebagian orang di kedai Kopi. Kalau pemerintah melarang itu sudah biasa, kan sudah tertulis di belakang bungkus rokok. Meski melarang, pemerintah tetap meraup untung besar dari bisnis tembakau. Betul tidak? Bahkan, perusahaan rokok punya sumbangsih besar dalam memajukan olah raga Indonesia, melalui dana sponsorship yang kian meraksasa itu. Ada juga yang berseloroh nakal, "Jangan-jangan nanti selain ada peringatan pemerintah, juga ada stempel haram dari MUI di bungkus rokok." Bisa iya, bisa juga tidak.

Bermula dari fatwa MUI yang diterbitkan di Padang Panjang, akhir Januari lalu, gonjang-ganjing seputar hukum merokok mengemuka. MUI mengatakan haram, sebut saja, kiai A dari pesantren B menghukumi makruh, ustadz C dari ormas D berpendirian bahwa hukumnya bisa berubah-ubah tergantung illat, dan seterusnya. Masalah ini sejatinya bukan hal baru. Perdebatan pro-kontra hukum merokok ini, kalau ditelusuri, pernah terjadi pada abad 10 H. Perdebatan tempo dulu itu kini bisa kita nikmati melalui buku Kitab Kopi dan Rokok. Buku yang berjudul asli Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini adalah karya Syaikh Ihsan Jampes. Mungkin ada yang bertanya-tanya, Syaikh Ihsan itu siapa?

Ulama asli Indonesia ini namanya memang tak sepopuler penulis buku-buku nge-pop dan best seller sekarang ini. Kiai asal Kediri Jawa Timur ini lahir pada tahun 1901 dengan nama asli Bakri. Ayahnya, KH. Dahlan, adalah perintis pendirian pondok pesantren Jampes tahun 1886. Pada masa remaja, ia ber-rihlah ilmiyah dari pesantren ke pesantren untuk menimba ilmu. Antara lain: Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Punduh di Magelang, dan Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil Bangkalan, yang dikenal sebagai gurunya para ulama.

Semasa hidupnya, ia menelorkan beberapa karya yang diakui berbagai kalangan tentang kedalaman ilmunya, terutama Siraj al-Thalibin. Kitab ini mampu menembus pasar international, hinggi kini masih diproduksi oleh penerbit besar di Mesir, Mustafa al-Bab al-Halab. Karya lainnya yang masih terlacak yaitu Tashrih al-Ibarat tentang astronomi dan Manahij al-Imdad seputar tasawuf. Selain kitab-kitab tersebut masih ada beberapa karya yang disinyalir masih belum ditemukan. Salah satunya adalah Kitab Kopi dan Rokok.

Karya adaptasi puitik atas Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini merupakan goresan tangan Syaikh Ihsan yang telah tertimbun lebih dari setengah abad di bilik pesantren. Baru belakangan ditemukan, lalu diterjemahkan seperti dihadapan pembaca saat ini. Buku ini adalah satu-satunya buku di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari: sejarah, polemik hukum mengkonsumsi, hingga kasiat yang dikandung. Fenomenal bukan? Terserah anda bagaimana menyimpulkan.

Dalam membahas pro-kontra hukum rokok, Syaikh Ihsan menyederhanakan pembahasan ini dalam dua bahasan. Pertama, ulama yang mengharamkan rokok. Antara lain: Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, al-Tharabisyi, al-Muhaqqiq al-Bujairimi, dan Hasan al-Syaranbila. Argumentasi mereka rata-rata didasarkan atas efek samping atau bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok. Misalnya, merusak kesehatan, melemahkan badan, dan juga berimbas pada pemborosan (isyraf).

Kedua, ulama yang menghalalkan rokok. Di antaranya: Abd al-Ghani al-Nabilisi, al-Syabramalis, al-Sulthan al-Halab, al-Barmawi, al-Rusyd, dan Ali al-Ajhury. Mereka berdalih bahwa rokok tidak najis, atau dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Baginya, tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok adalah dalil bahwa menghisap dan mengkonsumsi rokok hukumnya mubah. Kelompok ini cenderung tidak menjeneralisir masalah. Hukum mubah ini adalah berlaku bagi orang yang tidak terganggu kesehatannya atau hilang ingatannya ketika merokok.

Pada posisi ini, Syaikh Ihsan tidak terjebak dalam perdebatan dua kubu. Ia malah memberikan jawaban alternatif. Ia berpendapat bahwa merokok adalah makruh. Meski begitu, hukum makruh ini tidak tetap. Bisa berubah jadi wajib, jika seandainya seseorang itu tidak atau berhenti merokok maka badannya akan sakit atau tidak bisa beraktifitas dengan baik. Bisa juga berubah jadi haram, bila alokasi uang yang digunakan untuk beli rokok itu seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya, gara-gara beli rokok keluarganya jadi tidak makan. (h. 78)

Di sinilah letak kedalaman ilmu dan keluwesan cara berfikir Syaikh Ihsan. Dalam menentukan hukum suatu masalah, ia tidak terjebak pada satu keputusan ekstrim, tapi memberikan alternatif jawaban sesuai dengan konteks yang berkembang. Maka tak salah bila pengasuh pesantren salaf Lirboyo Kediri KH. Mahrus Ali (alm.) pernah mengatakan, "Semenjak Syaikh Ihsan wafat sampai kini, belum ada di Indonesia, khususnya di Jawa, seorang ulama atau kiai yang dapat mengimbangi ilmunya.

Keluwesan dalam menentukan suatu hukum, juga tergambar saat kiai yang wafat tahun 1952 ini memfatwakan hukum mengkonsumsi kopi. Setelah menguraikan dua pendapat yang berseberangan, halal dan haram seperti dalam kasus rokok, Syaikh Ihsan memberikan alternatif jawaban yang luwes. Ia sependapat dengan syaikh al-Qadli Ahmad ibn Umar al-Muzjid. Jika minum kopi dengan niat agar kuat beramal dan betaqarrub kepada Allah, maka minum kopi itu bagian dari bentuk taqarrub juga. Jika niat hendak mengerjakan yang hukumnya mubah, maka mubah pula. Begitu seterusnya. Jadi, hukum perantara itu berjalan lurus dengan tujuannya. (h. 25)

Meski ditulis setengah abad yang lalu, buku ini masih menemukan relevansinya di tengah kebingungan orang awam menyikapi hukum merokok yang tengah diharamkan MUI. Bagi saya, ada sedikit celah dalam buku ini. Syaikh Ihsan dalam menganalisis kopi dan rokok selalu menggunakan referensi kitab-kitab yang ditulis oleh seorang ahli agama. Karya ini akan semakin kaya kalau saja penulisnya tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama ahli agama, tapi juga pakar-pakar ilmu kedokteran yang mengetahui analisis plus minus kopi dan rokok dari sudut pandang medis.

Kehadiran buku ini, dalam konteks kekinian, adalah bacaan alternatif di tengah buku-buku keagamaan yang cenderung menghukumi suatu masalah dengan memakai kaca mata kuda. Rata-rata masalah dihukumi dengan satu sudut pandang dan satu keputusan hukum, tanpa ada alternatif atau pilihan jawaban. Saya tidak habis pikir, ulama yang berkiprah di era revolusi fisik dan awal kemerdekaan mampu berfikir kontekstual melampaui zamannya, sementara di era keterbukaan informasi sekarang ini justeru banyak ahli agama yang berfikir tekstual. Apa ini kemunduran? Wallahu a'lam. []

* Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Pengembangan Sumber Daya Pesantren dan Masyarakat (LPSPM) Banten

Sumber: Nawal Wahid Institute, No. 8/ TH. III/ PEBRUARI - APRIL 2009

NU pergi meninggalkan desa

NU Pergi Meninggalkan Desa

November 16, 2008 by admin
Filed under Wacana

komentar anda

Oleh : NASRUL UMAM SYAFI’I/SYIRAH

Jombang- Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah tercerabut dari akar historitasnya. Oreintasi yang bersifat pedesaan: pembelaan terhadap tani, dan kaum tertindas, telah beralih kewilayah perkotaan dan politik. Kedapan, perlu reorientasi.
Hal itu mengemuka dalam acara Rembug Bareng Telaah Kritis atas Peran NU terhadap Persoalan Sosial Bangsa yang diselenggarakan Jaringan NU Kultural (Janur) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, dihadiri sekitar 80an orang dari mahasiswa dan LSM dari beberapa daerah, Selasa (06/03).

Hadir sebagai pembicara, KH. Slamet, Pengasuh Pondok Pesantren Kepuk Kembeng Peterongan Jombang Jawa Timur, mengatakan sekarang ini NU telah lupa dengan akar sejarah berdirinya. NU tidak lagi mampu berbicara soal kaum tertindas, sebaliknya malah beralih sibuk mengurusi dan terlibat aktif dalam percaturan politik praktis.

Sedangkan pembicara kedua, Gus Taufik Jalil, Suriah Pengurus Cabang (PC) NU Kab. Jombang pada kesempatan itu mengklarifikasi bahwa selama ini NU, khususnya NU Jombang, telah banyak berbuat untuk masyarakat. Tapi karena begitu kompleksnya persoalan yang diahadapi masyarakat, SDM yang ada dalam NU sendiri tak mampu menangganinya.

Suara kritis juga disampaikan oleh peserta, diantaranya Zainul Hamdi, Jaringan Islam Anti Diskriminasi, menyampaikan NU dewasa ini telah gagal berkomunikasi, melakukan pendampingan dan memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat desa. Kecenderungannya malah suka dengan urusan perkotaan.Didalam forum itu juga disepakati bahwa ide tentang dar al-islam, negara Islam, bukanlah tujuan dari berdirinya Nahdlatul Ulama.[aan]

sepenggal keluh kesah warga sipil

adalah suatu hal yang tidak bisa kita hindari, bahwa kita merupakan bagian dari mayarakt tulungagung yang harus memberi kontribusi riil bagi arah pembangunan demi terciptanya sebuah peradaba yang berpihak pada kemanusiaan.

dalam banyak hal kususnya sosial politik merupakan sebagian elemen faktor yang turut mempengaruhi laju dinamika kehidupan masarakat. peran strategis yang sudah diambil para mantan aktifis yang sebagian besar terjun keranah politik justru mengebiri proses demokrasi dan pemenuhan hak-hak warga sipil.
fakta ini dapat kita baca dari aksi-aksi para elit politisi yang lebih berpihak pada pemenuhan kepentingan kelompok konstituen yang dianggap menjadi partisipan partainya dari pada pemnuhan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. penangkapan aspirasi rakyat yang hanya bersifat monolitik satu arah kebasis lambat laun akan menciptakan suatu sikap masyarakat yang apatis.