Minggu, 07 Juni 2009

NU dan tantangan menjelang satu abad

Resensi

Minggu, 08 November 2008 15:03

NU Liberal Nahdlatul Ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Menjelang berdirinya pada 1926, para ulama NU membentuk Komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mampu mewarnai dunia Islam, khususnya bagi kalangan pesantren. NU didirikan bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan menganut Imam Madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ibn Hambal.

Sampai saat ini, NU telah melewati beberapa fase. Fase ini dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, NU didirikan sampai NU menjadi partai poltik. Fase kedua, NU keluar dari Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai politik sampai keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, NU menjadi gerakan sosial-keagamaan dengan sebutan kembali ke Khittah NU 1926.

Buku ini menjelaskan beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, mulai masalah sosial, politik, khususnya dalam masalah ekonomi warga NU. Buku ini juga memaparkan berbagai rintangan dan hambatan warga NU menjelang satu abad. Kini, NU telah berumur 82 tahun. Umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026.

Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaikan. Sehingga nama NU tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, kritik-kritik muncul dari banyak kalangan muda yang tidak puas dengan kelambanan NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibat ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk organisasi non-pemerintah (ornop). Munculnya ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh dari apa yang diharapkan warga NU (hal. 32).

Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, NU memasuki dunia baru. Sejak berdirinya sampai menjadi partai politik, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Peristiwa itu dinamakan kembali ke khittah. NU sudah lepas dan menjaga jarak dari politik praktis dan kembali ke format awal, yakni sebagai pengayom umat, mengurus dakwah, pendidikan dan pondok pesantren. Inilah salah satu tugas yang harus diperjuangkan NU ke depan. Perjuangan NU harus lebih banyak difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, dakwah, khususnya peningkatan ekonomi warganya.

Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU menjelang satu abad nanti. Pertama, globalisasi dan neoliberalisme. Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju.

Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam yang berjenis lain dan tidak sealiran dengan NU, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah. Mereka sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU.

Sungguh menarik buku ini dijadikan bahan bacaan dan referensi bagi kalangan pesantren dan warga NU pada umumnya. Penulisnya mampu menjelaskan kondisi sosial warga NU, dari masalah politik hingga kondisi sosial-ekonominya.[]

*Peresensi Noviana Herliyanti, adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya Jawa Timur

(pmiikomfaksyahum.wordpress.com, 1 Juli 2008)

Islam Kedamaian

Resensi

Sabtu, 20 Februari 2009 11:34
Judul : Ragam Ekspresi Islam Nusantara
Penerbit : The WAHID Institute, Desember 2008

Jika kita memperhatikan dengan seksama, banyak berita di media massa, "membantu" pencitraan Islam yang bernada negatif. Islam ditampakkan sebagai sebuah agama yang keras, pro kekerasan, dan merasa paling benar. Citra ini benar adanya-golongan Islam tertentu melakukan tindakan dan penyikapan dengan model ini. Sayangnya citra ini cenderung hiperbolik, berorientasi rating, dan menggelapkan wajah Islam yang lain; wajah Islam yang ramah, damai, dan toleran kepada yang lain. Media "membantu" kelompok Islam melainkan sang liyan dengan cara menyakitkan seperti memukul fisik sang liyan atau mengkafirkan sang liyan. Media memang tidak membantu memukul atau membuat seruan tertulis pernyataan dukungan sikap, tapi media "membantu" mereproduksi sikap golongan tersebut. Reproduksi ini bukan tidak mungkin memungkinkan duplikasi (kekerasan) seperti halnya duplikasi mutilasi yang kini marak. Reproduksi ini dapat juga memunculkan pembenaran sikap golongan Islam yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan itu. Pada konteks ini, media bisa menjadi-mengutip Jalaluddin Rakhmat-provokator.

Dampak reproduksi ini dapat dilihat dalam tayangan dan berita media menjelang Amrozi dan kawan-kawan. Banyak simpati, bukan kutukan layaknya bagi pelaku kekerasan, justru berdatangan. Sikap ini bukan datang dari sikap sadar dan tahu tragedi bom Bali semata-mata. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, sikap ini merupakan dampak dari penayangan berturut-turut tindakan Amrozi dan kesedihan orang-orang terdekatnya. Amrozi digambarkan sebagai orang yang melakukan pengeboman karena marah dengan agresi dan arogansi Amerika Serikat (sehingga layak didukung meski korban yang jatuh mayoritas bukan warga Amerika) dan keluarganya digambarkan sedih namun tetap berusaha tegar (sehingga pantas mendapatkan simpati). Sementara korban diperlihatkan dalam durasi yang sebentar. Mereka tenggelam di tengah hirau pikuk curahan hati Amrozi dan kerabatnya. Korban, sebagai yang teraniaya, hanya mendapatkan simpati sekedarnya.

Dampak ini tidak seharusnya terus menyebar ke bagian masyarakat. Siapa berani membayangkan wajah Indonesia di masa depan ketika mayoritasnya mengamini sikap keras Amrozi. Siapa berani beranda-andai jika kekerasan kelak menjadi sesuatu yang dibenarkan ketika menyelesaikan persoalan karena meniru Amrozi. Kita layak prihatin dengan andaian ini. Sikap prihatin ini bukan saja sikap moral tanda peduli, tanpa komitmen untuk menghadirkan berita atau tayangan dari perspektif berbeda. Islam dipandang bukan dengan perspektif marah dan darah. Islam dipandang sebagai agama yang menjanjikan yang damai dan toleran. Inilah yang hendak dihadirkan dalam buku bertajuk Ragam Ekspresi Islam Nusantara. Buku ini merupakan kumpulan berita dalam bentuk suplemen di majalah GATRA dan TEMPO-selanjutnya disebut suplemen WI-sepanjang dua tahun.

Ketika trend berita menunjukkan maraknya Islam garis keras, suplemen WI menunjukkan fakta lain; pertobatan para pengikut Islam garis keras. Fauzi Isman bertobat dan menyatakan keluar dari Jamaah Warsidi yang bercita-cita mendirikan negara Islam termasuk dengan cara kekerasan. Ia melakukannya setelah bertemu dengan eks-tapol PKI yang akan dihukum mati di penjara tempat dia ditahan. Tapol bernama Asep Suryaman itu terus memegangi Yasin sampai nyawanya disetorkan kepada regu tembak. Tapol PKI itu begitu relijius-tak seperti dibayangkan Fauzi selama ini. Fauzi juga merasakan sesal karena istri dan keluarganya yang paling menderita akibat aktivitasnya. Mereka dengan setia menjenguk Fauzi sementara Jamaah Warsidi lain tidak pernah tampak batang hitungnya lagi (h. 83). Suplemen WI juga mewawancarai langsung Nasir Abbas yang sudah bertobat dari Jamaah Islamiyah. Ia bertobat setelah menyaksikan kelakuan anggota JI membunuhi warga sipil termasuk perempuan yang tidak bersalah dalam konflik Poso. Nasir menganggapnya sebagai dosa besar. Sebagai bentuk pertobatannya, Nasir berbicara dengan pelaku kekerasan seperti Hasanuddin (pelaku mutilasi Poso) agar segera hijrah dari jalur kekerasan karena tidak bersesuaian dengan ajaran Nabi SAW (h.85)

Gerakan Islam garis keras ini dianggap bermula dari ketimpangan ekonomi. Suplemen WI memotret pesantren, yang kerap dituding sebagai persemaian benih-benih Islam keras, yang dengan tekun menjalankan bisnis. Dengan titel "Mengikis Fundamentalis dengan Berbisnis", suplemen WI mengisahkan kiprah pesantren Nurul Iman di Parung yang produktif menjalankan usaha pengolahan sampah, perkebunan sawah, dan pabrik roti. Dari usaha ini, pesantren yang diasuh oleh Habib Saggaf bin Mahdi mampu menghidupi delapan ribu santrinya dengan gratis. Paul Wolfowitz, direktur Bank Dunia ketika itu kagum dibuatnya, sehingga mengutus delegasi untuk menyambangi pesantren yang berdiri sejak 1998 itu (h. 45).

Penting dan sangat mendasar adalah memandang teks kitab suci sebagai dasar pembenar gerakan Islam garis keras. Suplemen WI meneropong berbagai literatur klasik dalam bentuk kitab kuning yang lazim diajarkan di pesantren. Dalam kitab Raudlah al-Thalibin karya Yahya bin Sharaf al-Dimasyqi disebutkan bahwa orang kafir (baca; berbeda keyakinan) tidak boleh diperangi. Kecuali, kata KH. Imam Ghazali Said, jika mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam (h. 75). Dengan demikian, bila orang kafir berlaku ramah dan damai maka tidak boleh ditindak memakai kekerasan meskipun mereka memiliki ritual dan keyakinan yang berbeda dengan orang Islam. Pemaknaan yang berbeda ini juga terjadi pada teks kitab suci yang menjadi pembenar kekerasan terhadap perempuan-bahwa perempuan boleh dipukul oleh suaminya jika melakukan nusyuz (pembangkangan). Kekerasan ini harus dilawan, bukan dilestarikan. Bu Nyai Ruqayyah (Bondowoso), Bu Nyai Djuju Zubaidah (Tasikmalaya), Bu Nyai Lilik Nihayah (Cirebon), Baiq Elly Mahmudah (Lombok), dan Shinta Nuriyah Wahid bahkan melakukan advokasi kepada perempuan korban kekerasan psikis maupun seksual (h. 91). Mereka bukan saja pejuang perempuan tetapi pemuka pesantren yang selama ini kerap dianggap sebagai lahan domestikasi dan diskriminasi paling subur.

Buku ini menghadirkan wajah Islam yang menyejukkan. Sesuatu yang disebut oleh Toriq Haddad sebagai pereda rasa cemas atas munculnya kelompok (Islam) dengan rasa toleransi tipis. Kutipan wawancara di suplemen ini, kata pemimpin redaksi majalah TEMPO tersebut, dipilih yang tenang, rileks, dan melegakan seperti meneguk air es di panas terik. Asrori S. Karni, dalam kata pengantarnya, menyatakan bahwa suplemen ini adalah upaya menampilkan wajah moderat kreatif kaum santri arus utama yang selama ini cenderung menjadi "mayoritas diam" (silent majority). Redaktur majalah GATRA ini menilai bahwa kaum santri tipikal ini lebih sepi ing pamrih tapi rame ing gawe; mereka banyak berkreasi tapi tidak terlalu memikirkan publikasi. Publikasi ini seharusnya wajib mengingat kinerja sosial mereka penting menjadi pembelajaran publik luas.

Ungkapan para jurnalis senior ini memang benar adanya. Suplemen ini memandang Islam dalam kerangka kearifan lokal yang penuh harmoni, bukan konfrontasi teologi. Mereka berbeda tapi saling menghargai seperti didedahkan oleh Mpu Tantular dalam slogan "Bhineka Tunggal Ika" sejak Majapahit berkuasa dulu kala. Inilah sesungguhnya wajah Islam Indonesia. Islam Indonesia ini memiliki karakter yang unik; watak kultural dari agama Islam yang berpadu dengan adat istiadat bangsa Indonesia ini menjadi mengemuka-mengutip Gus Dur dalam pengantar buku ini-dan kehilangan watak politisnya. Jika watak politis ini menjadi ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi ideologis maka Islam akan jumud dan rigid. Kejumudan mendatangkan fanatisme yang mendekat pada kekerasan.
Penasaran? Selamat membaca.

(Nurun Nisa')

berfatwa dengan luwes dan kontekstual

Resensi

Kamis, 13 Mei 2009 13:21

Buku

Berfatwa dengan Luwes dan Kontekstual


Oleh:Abdullah Ubaid Mathraji**

Judul : Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli : Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan
Penulis : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : xxv + 110 halaman

Kopi dan rokok pantas dibilang sobat kental atau teman akrab. Di mana ada gelas kotor bekas kopi, tengok saja kanan kiri di sekitarnya biasanya ditemukan abu rokok. Ngudut lan ngopi, merokok sambil minum kopi, begitulah orang Jawa menyebut kebiasaan ini. Arek Jawa Timuran punya tradisi cangkruan, nongkrong di warung kecil pinggir jalan, dimana stok rokok dan kopinya selalu ada. Bocah Jawa Tengahan, khususnya Yogyakarta, akrab dengan tradisi angkringan, metangkring atau duduk dikursi agak tinggi di pinggir jalan. Ngapain? Ngudut lan ngopi. Ada yang hanya melepas lelah, ngobrol ringan, janjian dengan teman, syukuran, hingga konsolidasi politik. Semua dilakoni sambil ngopi lan ngudut.

Itu fenomena yang terjadi di jalanan atau katakanlah di sudut-sudut jalan. Di dunia pendidikan, kopi dan rokok juga tak kalah ramai penggemarnya, terutama kalangan pesantren. Kiai atau ustadz di pesantren seakan-akan ilmunya tak bisa keluar, kalau belum menghisap lintingan tembakau dan menyeruput kopi. Apalagi kalau di forum diskusi seperti musyawarah, bahtsul masail, halaqah, maka jangan coba-coba memfasilitasi mereka di ruangan tertutup apalagi berpendingin atau AC, bisa-bisa alarm otomatisnya berdering. Gambaran ini tentu saja tidak semuanya, tapi ini memang ghalib dilakoni. Saking lumrahnya, kebiasaan ini membudaya dan mendarah daging.

Namun, belum lama ini, penikmat rokok sempat memicingkan kedua alisnya. Ada apa gerangan? Mereka mendengar kabar larangan merokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Ada-ada saja," begitu kelakar sebagian orang di kedai Kopi. Kalau pemerintah melarang itu sudah biasa, kan sudah tertulis di belakang bungkus rokok. Meski melarang, pemerintah tetap meraup untung besar dari bisnis tembakau. Betul tidak? Bahkan, perusahaan rokok punya sumbangsih besar dalam memajukan olah raga Indonesia, melalui dana sponsorship yang kian meraksasa itu. Ada juga yang berseloroh nakal, "Jangan-jangan nanti selain ada peringatan pemerintah, juga ada stempel haram dari MUI di bungkus rokok." Bisa iya, bisa juga tidak.

Bermula dari fatwa MUI yang diterbitkan di Padang Panjang, akhir Januari lalu, gonjang-ganjing seputar hukum merokok mengemuka. MUI mengatakan haram, sebut saja, kiai A dari pesantren B menghukumi makruh, ustadz C dari ormas D berpendirian bahwa hukumnya bisa berubah-ubah tergantung illat, dan seterusnya. Masalah ini sejatinya bukan hal baru. Perdebatan pro-kontra hukum merokok ini, kalau ditelusuri, pernah terjadi pada abad 10 H. Perdebatan tempo dulu itu kini bisa kita nikmati melalui buku Kitab Kopi dan Rokok. Buku yang berjudul asli Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini adalah karya Syaikh Ihsan Jampes. Mungkin ada yang bertanya-tanya, Syaikh Ihsan itu siapa?

Ulama asli Indonesia ini namanya memang tak sepopuler penulis buku-buku nge-pop dan best seller sekarang ini. Kiai asal Kediri Jawa Timur ini lahir pada tahun 1901 dengan nama asli Bakri. Ayahnya, KH. Dahlan, adalah perintis pendirian pondok pesantren Jampes tahun 1886. Pada masa remaja, ia ber-rihlah ilmiyah dari pesantren ke pesantren untuk menimba ilmu. Antara lain: Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Punduh di Magelang, dan Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil Bangkalan, yang dikenal sebagai gurunya para ulama.

Semasa hidupnya, ia menelorkan beberapa karya yang diakui berbagai kalangan tentang kedalaman ilmunya, terutama Siraj al-Thalibin. Kitab ini mampu menembus pasar international, hinggi kini masih diproduksi oleh penerbit besar di Mesir, Mustafa al-Bab al-Halab. Karya lainnya yang masih terlacak yaitu Tashrih al-Ibarat tentang astronomi dan Manahij al-Imdad seputar tasawuf. Selain kitab-kitab tersebut masih ada beberapa karya yang disinyalir masih belum ditemukan. Salah satunya adalah Kitab Kopi dan Rokok.

Karya adaptasi puitik atas Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini merupakan goresan tangan Syaikh Ihsan yang telah tertimbun lebih dari setengah abad di bilik pesantren. Baru belakangan ditemukan, lalu diterjemahkan seperti dihadapan pembaca saat ini. Buku ini adalah satu-satunya buku di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari: sejarah, polemik hukum mengkonsumsi, hingga kasiat yang dikandung. Fenomenal bukan? Terserah anda bagaimana menyimpulkan.

Dalam membahas pro-kontra hukum rokok, Syaikh Ihsan menyederhanakan pembahasan ini dalam dua bahasan. Pertama, ulama yang mengharamkan rokok. Antara lain: Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, al-Tharabisyi, al-Muhaqqiq al-Bujairimi, dan Hasan al-Syaranbila. Argumentasi mereka rata-rata didasarkan atas efek samping atau bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok. Misalnya, merusak kesehatan, melemahkan badan, dan juga berimbas pada pemborosan (isyraf).

Kedua, ulama yang menghalalkan rokok. Di antaranya: Abd al-Ghani al-Nabilisi, al-Syabramalis, al-Sulthan al-Halab, al-Barmawi, al-Rusyd, dan Ali al-Ajhury. Mereka berdalih bahwa rokok tidak najis, atau dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Baginya, tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok adalah dalil bahwa menghisap dan mengkonsumsi rokok hukumnya mubah. Kelompok ini cenderung tidak menjeneralisir masalah. Hukum mubah ini adalah berlaku bagi orang yang tidak terganggu kesehatannya atau hilang ingatannya ketika merokok.

Pada posisi ini, Syaikh Ihsan tidak terjebak dalam perdebatan dua kubu. Ia malah memberikan jawaban alternatif. Ia berpendapat bahwa merokok adalah makruh. Meski begitu, hukum makruh ini tidak tetap. Bisa berubah jadi wajib, jika seandainya seseorang itu tidak atau berhenti merokok maka badannya akan sakit atau tidak bisa beraktifitas dengan baik. Bisa juga berubah jadi haram, bila alokasi uang yang digunakan untuk beli rokok itu seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya, gara-gara beli rokok keluarganya jadi tidak makan. (h. 78)

Di sinilah letak kedalaman ilmu dan keluwesan cara berfikir Syaikh Ihsan. Dalam menentukan hukum suatu masalah, ia tidak terjebak pada satu keputusan ekstrim, tapi memberikan alternatif jawaban sesuai dengan konteks yang berkembang. Maka tak salah bila pengasuh pesantren salaf Lirboyo Kediri KH. Mahrus Ali (alm.) pernah mengatakan, "Semenjak Syaikh Ihsan wafat sampai kini, belum ada di Indonesia, khususnya di Jawa, seorang ulama atau kiai yang dapat mengimbangi ilmunya.

Keluwesan dalam menentukan suatu hukum, juga tergambar saat kiai yang wafat tahun 1952 ini memfatwakan hukum mengkonsumsi kopi. Setelah menguraikan dua pendapat yang berseberangan, halal dan haram seperti dalam kasus rokok, Syaikh Ihsan memberikan alternatif jawaban yang luwes. Ia sependapat dengan syaikh al-Qadli Ahmad ibn Umar al-Muzjid. Jika minum kopi dengan niat agar kuat beramal dan betaqarrub kepada Allah, maka minum kopi itu bagian dari bentuk taqarrub juga. Jika niat hendak mengerjakan yang hukumnya mubah, maka mubah pula. Begitu seterusnya. Jadi, hukum perantara itu berjalan lurus dengan tujuannya. (h. 25)

Meski ditulis setengah abad yang lalu, buku ini masih menemukan relevansinya di tengah kebingungan orang awam menyikapi hukum merokok yang tengah diharamkan MUI. Bagi saya, ada sedikit celah dalam buku ini. Syaikh Ihsan dalam menganalisis kopi dan rokok selalu menggunakan referensi kitab-kitab yang ditulis oleh seorang ahli agama. Karya ini akan semakin kaya kalau saja penulisnya tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama ahli agama, tapi juga pakar-pakar ilmu kedokteran yang mengetahui analisis plus minus kopi dan rokok dari sudut pandang medis.

Kehadiran buku ini, dalam konteks kekinian, adalah bacaan alternatif di tengah buku-buku keagamaan yang cenderung menghukumi suatu masalah dengan memakai kaca mata kuda. Rata-rata masalah dihukumi dengan satu sudut pandang dan satu keputusan hukum, tanpa ada alternatif atau pilihan jawaban. Saya tidak habis pikir, ulama yang berkiprah di era revolusi fisik dan awal kemerdekaan mampu berfikir kontekstual melampaui zamannya, sementara di era keterbukaan informasi sekarang ini justeru banyak ahli agama yang berfikir tekstual. Apa ini kemunduran? Wallahu a'lam. []

* Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Pengembangan Sumber Daya Pesantren dan Masyarakat (LPSPM) Banten

Sumber: Nawal Wahid Institute, No. 8/ TH. III/ PEBRUARI - APRIL 2009

NU pergi meninggalkan desa

NU Pergi Meninggalkan Desa

November 16, 2008 by admin
Filed under Wacana

komentar anda

Oleh : NASRUL UMAM SYAFI’I/SYIRAH

Jombang- Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah tercerabut dari akar historitasnya. Oreintasi yang bersifat pedesaan: pembelaan terhadap tani, dan kaum tertindas, telah beralih kewilayah perkotaan dan politik. Kedapan, perlu reorientasi.
Hal itu mengemuka dalam acara Rembug Bareng Telaah Kritis atas Peran NU terhadap Persoalan Sosial Bangsa yang diselenggarakan Jaringan NU Kultural (Janur) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, dihadiri sekitar 80an orang dari mahasiswa dan LSM dari beberapa daerah, Selasa (06/03).

Hadir sebagai pembicara, KH. Slamet, Pengasuh Pondok Pesantren Kepuk Kembeng Peterongan Jombang Jawa Timur, mengatakan sekarang ini NU telah lupa dengan akar sejarah berdirinya. NU tidak lagi mampu berbicara soal kaum tertindas, sebaliknya malah beralih sibuk mengurusi dan terlibat aktif dalam percaturan politik praktis.

Sedangkan pembicara kedua, Gus Taufik Jalil, Suriah Pengurus Cabang (PC) NU Kab. Jombang pada kesempatan itu mengklarifikasi bahwa selama ini NU, khususnya NU Jombang, telah banyak berbuat untuk masyarakat. Tapi karena begitu kompleksnya persoalan yang diahadapi masyarakat, SDM yang ada dalam NU sendiri tak mampu menangganinya.

Suara kritis juga disampaikan oleh peserta, diantaranya Zainul Hamdi, Jaringan Islam Anti Diskriminasi, menyampaikan NU dewasa ini telah gagal berkomunikasi, melakukan pendampingan dan memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat desa. Kecenderungannya malah suka dengan urusan perkotaan.Didalam forum itu juga disepakati bahwa ide tentang dar al-islam, negara Islam, bukanlah tujuan dari berdirinya Nahdlatul Ulama.[aan]

sepenggal keluh kesah warga sipil

adalah suatu hal yang tidak bisa kita hindari, bahwa kita merupakan bagian dari mayarakt tulungagung yang harus memberi kontribusi riil bagi arah pembangunan demi terciptanya sebuah peradaba yang berpihak pada kemanusiaan.

dalam banyak hal kususnya sosial politik merupakan sebagian elemen faktor yang turut mempengaruhi laju dinamika kehidupan masarakat. peran strategis yang sudah diambil para mantan aktifis yang sebagian besar terjun keranah politik justru mengebiri proses demokrasi dan pemenuhan hak-hak warga sipil.
fakta ini dapat kita baca dari aksi-aksi para elit politisi yang lebih berpihak pada pemenuhan kepentingan kelompok konstituen yang dianggap menjadi partisipan partainya dari pada pemnuhan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. penangkapan aspirasi rakyat yang hanya bersifat monolitik satu arah kebasis lambat laun akan menciptakan suatu sikap masyarakat yang apatis.

Minggu, 09 November 2008

sikap Majlis Masyayikh dalam menanggapi kontroversi surat terbuka Munarman dan FPI

Surat terbuka “Munarman dan FPI”: Sikap kami majlis para masyayikh (sikap kami)

Akhir-akhir ini beredar di internet sebuah surat terbuka yang mengatasnamakan “surat bersama Munarman dan FPI”, yang di dalamnya berupa penyeruan pembunuhan terhadap Gus Dur, penghinaan luar biasa besar terhadap NU, Jawa Timur, Jawa dan lain-lain.

Kami majlis para masyayikh dengan serius mendiskusikan adanya surat terbuka ini. Selengkapnya surat terbuka itu dikutip bawah ini:

Surat Bersama Munarman dan FPI
Oleh : Redaksi-kabarindonesia

[www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia -

From: Munarman N Fpi

Assalamu ‘alaikum Wr Wb

Bismillahirrahmanir rahiim.

Surat Terbuka Bersama dari Munarman (Panglima Tertinggi Komando Laskar Islamiyah) dan FPI (Front Pembela Islam / FPI) kepada semua pihak yang berkepentingan -untuk dapat dimaklumi bersama.

Kami bersama ini menyampaikan beberapa sikap mendasar untuk dapat dicermati.

1. Pertama. Adanya insiden di Monas pada tanggal 1 Juni 2008 tidak dapat dipisahkan dari akar permasalahan yang sebenarnya yaitu perseteruan antara Gusdur dengan pihak FPI.

Hal mendasar yang harus disadari oleh semua pihak adalah adanya sikap yang amat tidak bertanggung- jawab dari pihak Gusdur selama ini yang selalu menentang kemuliaan Islam di NKRI ini.

Bangkitnya emosi dari kaum Nahdliyin sebenarnya bukan berangkat dari pecahnya sikap arogansi dan tindakan kekerasan dari pihak FPI yang terjadi di Lapangan Monas. Akar permasalahannya adalah adanya kultus individu yang amat menjijikkan dari kaum Nahdliyin atas pribadi Gusdur.

Di satu pihak Gusdur selalu mengambil sikap berseberangan dengan nilai kemuliaan Islam di muka Bumi sebagai Dienullah, dan di pihak lain adanya kultus individu yang amat menjijikkan dari kaum nahdliyin yang memang ditradisikan oleh mental Gusdur. Islam membenci adanya sikap kultus individu ini. Rasul dalam sebuah pesannya mengingatkan agar para Sahabat tidak mengkultuskannya: “janganlah kamu berlebih-lebihan mengenai aku (Muhammad Saw) seperti kaum Kristen terhadap Isa bin Maryam” -Alhadits.

Kaum Nahdliyin yang melakukan / memberikan tekanan untuk pembubaran FPI dengan menggunakan wacana anti kekerasan dan anti arogansi dan anti preman berjubah sebenarnya salah alamat. Tekanan itu disebabkan oleh dua hal yaitu dicederainya oknum NU atas nama Maman Imanulhak warga Nahdliyin, dan kemudian berseberangannya faham FPI dengan faham Gusdur yang dalam tradisi NU dikultuskan.

Oleh karena itu penting sekali untuk menegaskan bahwa untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan stabil harus dimulai dengan cara MEMBUNUH / MENGEKSEKUSI MATI GUS DUR !!!!

ALLAHU AKBAR!!! ALLAHU AKBAR!!! ALLAHU AKBAR!!!

Dengan matinya Gusdur ini maka Insya Allah Indonesia akan dapat melenyapkan satu batu sandungan terbesarnya, sekarang dan untuk selama-lamanya.

2. Harus ditegaskan bahwa bangkitnya emosi kaum Nahdliyin yang mengusung wacana anti kekerasan adalah suatu kekonyolan anthropologis kejawaan.

Kami mengamati, sejak kapankah orang Jawa khususnya Nahdliyin begitu cerdas dan terampil dalam mengusung isu anti kekerasan? Carok adalah tradisi kekerasan yang amat dibanggakan oleh warga Jawa Timur. Dan bahwa kini orang Jawa khususnya Jawa Timur dan khususnya warga nahdliyin bangkit dengan mengusung wacana anti kekerasan akan menjadi penanda besar betapa KONYOLNYA orang Jawa Timur khususnya warga Nahdliyin.

Kami mengamati bahwa jika emosi kemarahan yang selama ini diberitakan memang atas dasar wacana anti kekerasan, maka mengapa tekanan untuk membubarkan FPI hanya terjadi di pulau Jawa dan hanya dilakukan oleh warga NU.

Kami mengamati bahwa aksi penolakan dan tuntutan pembubaran FPI tidak pernah terjadi di pulau Sumatra atau Kalimantan atau Sulawesi dan lain lain dan dilakukan oleh ormas lain di luar NU. Kami menuntut dibunuhnya / dilenyapkannya GUSDUR secepat mungkin. Dan kami menuntut pihak-pihak yang berwenang khususnya media untuk menegaskan kepada masyarakat luas bahwa yang terjadi sebenarnya adalah sentiment kultus individu yang menjijikkan terhadap pribadi Gusdur dari warga NU, bukan karena terjadinya aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam yang dilakukan oleh massa FPI.

3. Kami mengamati bahwa semua media memberitakan aksi penolakan atas FPI yang dilakukan oleh warga NU di seluruh pulau Jawa. Media tidak pernah memberitakan adanya aksi penolakan atau tuntutan pembubaran FPI yang terjadi di luar pulau Jawa. Ini berarti bahwa semua elemen mau pun ormas di luar NU tetap mendukung FPI, dan semua umat Muslim dari Sabang sampai dengan Merauke tetap mendukung FPI.

Dengan kata lain tuntutan pembubaran FPI adalah murni subjektivitas orang NU yang buta dalam mental kultus individu mereka terhadap Gusdur.

4. Kami mengamati bahwa Alba Besmaya (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) tidak berhak untuk menyatakan bahwa tidak ada satu manusia pun yang berhak untuk mendefinisikan kebenaran agama.

Masalah Ahmadiyah adalah masalah internal Islam. Oleh karena itu hanya lembaga Islam Kaffah sajalah yang berhak untuk menentukan masalah masalah internalnya.

Muslim kaffah adalah Muslim yang benar-benar menyuarakan dan memperjuangkan kemuliaan Islam di muka Bumi. Mereka terdiri dari FPI, FUI, KLI, MUI, DDI, Muhammadiyah, HTI dan PKS (kemudian disebut dengan Kelompok Istiqlal). Di luar kelompok ini, maka tidak berhak untuk berpendapat tentang Islam itu sendiri.

Kelompok ini ditandai dengan sikap-sikap mereka terhadap isu-isu krusial yang fundamental dalam ranah Islam:

Mereka mendukung poligami,

Menentang persamaan gender,

Anti Israel dan

Anti Barat,

Anti pluralisme,

Anti sekulerisme,

Anti maksiat,

Anti kapitalisme

Anti feminisme.

Oleh karena itu, hanya mereka lah yang berhak untuk berbicara tentang Islam dan kemuliaannya. Siapakah yang lebih berhak untuk membela Islam selain dari pada mereka?

Muslim Sesat adalah Muslim yang sudah terkontaminasi dengan ide-ide Barat yang mengkompromikan kelemahan Islam dengan arogansi Barat dan atau sekuler. Mereka adalah Alba Besmaya, JIL, NU dan lain lain (kelompok Setan / Islam Oplosan).

Kelompok ini selalu ditandai dengan sikap-sikap mereka terhadap isu-isu krusial yang fundamental dalam ranah Islam:

Mereka anti poligami,

Memperjuangkan persamaan gender,

Pro Israel dan

Pro Barat,

Pro pluralisme,

Pro sekulerisme,

Pro maksiat,

Pro kapitalisme.

Pro feminisme

Bahkan dalam barisan Alba Besmaya ini terdapat aktivis feminis yang anti poligami yaitu Siti Musda Mulia (laknatullah alaiha!)

Mereka bukanlah kelompok yang berhak untuk membicarakan kemuliaan Islam di tanah air.
Dengan kata lain, hak untuk mendiskusikan kemuliaan internal (kebenaran) Islam hanya ada pada kelompok Islam Kaffah. Dasar kami adalah Alquran:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). [6:116]

Siapakah yang lebih berhak dan berkompenten untuk membicarakan ilmu biologi? Tentunya mereka yang bergiat dan totalitas dalam ilmu tersebut. Siapakah yang lebih berhak dan berkompeten untuk membicarakan aspek pendidikan? Tentulah mereka yang bergiat dan berdedikasi tinggi dan totalitas terhadap Dunia pendidikan, seperti Bapak Arif Rahman, Kak Seto dan lain lain.

Begitu jugalah dengan Islam. Yang lebih berhak dan berkompenten dalam mendiskusikan masalah Islam adalah mereka yang berdedikasi tinggi dan totalitas (kaffah) dan berdedikasi tinggi terhadap kemuliaan Islam. Mereka adalah FPI, KLI, DDI, LDI, MUI, FUI, PKS, HTI dan lain lain.

Oleh karena itu kami menyerukan kepada semua pihak yang berada di luar kelompok Istiqlal (yang ditandai dengan sikap-sikapnya menentang kemuliaan Islam; mereka adalah AKKBB / Alba Besmaya, JIL, dan lain lain) untuk BERDIAM DIRI dalam hal kemuliaan Islam.

ALLAHU AKBAR!!! ALLAHU AKBAR!!! ALLAHU AKBAR!!!

Suara mereka justru adalah suara untuk meruntuhkan kemuliaan Islam di muka Bumi ini di bawah bayang-bayang Barat yang sekuler dan kapitalis.

Demikian pesan dari Surat Terbuka ini kami sampaikan dengan harapan sdr Media menyebarkan dan menyampaikannya kepada elemen elemen yang berkepentingan khususnya NU dan AKKBB / Alba Besmaya.

Munarman + FPI

Sumber: Milis Mediacare

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini…!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Denagn pertimbangan yang mendalam, kami majlis para masysyikh bersikap:

1. Surat terbuka ini juga belum jelas apa benar dibuat Munarman dan FPI. Kalaupun benar tampak dia berani sekali, dan tampak ingin memancing reaksi masyarakat NU.

2. Tampak dalam surat terbuka ini, orangnya kurang memahami peta gerakan dan pertentangan sesama gerakan Islam, seperti selain NU semua dianggap mendukung, dan mereka menyamakan Muhammadiyah, HTI, PKS, FPI, MUI dan sejenisnya. Tampak yang membuat surat terbuka ini kurang memahami permusuhan PKS, HTI, Muhammadiyah, bahkan dengan kelompok salafi. Dalam surat terbuka ini mereka juga memuji-memuji MUI sambil menghinakan NU, padahal ketua MUI itu juga ketua Syuriyah PBNU. Kalaupun mereka semua tidak setuju dengan NU atas konsepsinya tentang negara misalnya, tidaklah mungkin mereka menyetujui eksekusi pembunuhan terhadap diri Gus Dur, mantan presiden.

3. Isi dari surat terbuka itu sudah merupakan ancaman pembunuhan, dan karenanya sudah menjadi wilayah penegak hukum tanpa harus ada pengaduan untuk melacak dan mengusut tuntas kebebanarannya. Kalau benar dibuat Munarman, maka aparat penegak hukum RI yang berdasarkan hokum di Indonesia harus menindak tegas.

4. Kepada masyarakat NU, agar jangan terpancing. Ingat, ini menjelang pemilu, dan penghinaan-penghinaan dalam surat terbuka itu sengaja untuk memancing reaksi warga Nahdliyin agar melakukan kekerasan, dan tampaknya memang ingin mendelegitimasi Gus Dur secara luar biasa, dan Nahdliyin secara umum. Meski begitu kami serukan kepada warga Nahdliyin untuk waspada dan jangan membuat gerakan-gerakan sendiri.

Majlis para masyayikh

Di rapatkan di gunung slamet

6 November 2008


Rabu, 22 Oktober 2008

FATWA SESAT MUI TENTANG PENENTUAN LEBARAN AL MUHDLOR DI TULUNGAGUNG

Senin, 29 September 2008 (DUTA MASYARAKAT)
Jamaah Al Muhdhor Awali Lebaran
TULUNGAGUNG—Pemerintah dan PBNU baru menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1429 H pada sidang itsbat Senin (29/9) sore ini tapi puluhan jamaah Al Muhdhor sudah mengawali berlebaran Ahad (29) kemarin. Para jamaah Al Muhdhor menggelar Salat Idul Fitri di Masjid Nur Muhammad Desa Wates Kec.
Sumbergempol Kab. Tulungagung kemarin pagi sekitar pukul 05.45.

Para jamaah pengikut ajaran Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhor ini menggelar Salat Ied di dalam masjid, diikuti sekitar 50 orang dari total sekitar 100 jamaah yang berasal dari berbagai kota di Indonesia.

“Memang benar kami melaksanakan Salat Ied sebagai tanda telah tiba Hari Raya Idul Fitri,” kata muadzin Masjid Nur Muhammad, Ali Mashud, usai salat Ied.
Ali mengatakan, alasan berlebaran lebih awal tiga hari itu karena puasa yang mereka lakukan juga lebih awal yakni pada 28 Agustus 2008 sehingga jumlah puasa tetap 30 hari. Jumlah puasa itu sama dengan ibadah puasa warga NU dan Muhammadiyah. “Sesuai petunjuk Kiai Hasyim (ahli Falaq) yang menghitung dan menentukan waktu puasa demikian, jadi kami mengikutinya memulai puasa lebih awal 3 hari,” katanya.

Namun ketika ditanya dasar penentuan waktu mulai puasa tersebut, Ali yang mengaku sebagai menantu Habib Ahmad sekaligus pendiri Yayasan Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhor, menolak menjelaskan dengan alasan belum saatnya. “Nanti kalau waktunya sudah tiba akan dijelaskan oleh Kiai Hasyim sendiri, termasuk dasar apa yang dipakai menetapkan awal puasa,” katanya.

Perbedaan ajaran jamaah ini diakui Ali hanya pada hal waktu ibadah puasa saja. Sedang ajaran Islam lain sama. Dan meski semua penetapan awal puasa dilakukan mengacu pada putusan ahli falag Kiai Hasyim, namun dia tidak mau menunjukkan keberadaan kiai tersebut. Begitu pula ketika wartawan akan meliput jalannya Salat Ied, Ali keberatan dengan alasan ibadah adalah hak setiap warga negara.
“Saya bersedia menjawab pertanyaan Anda, tapi sebaliknya tolong hormati orang yang sedang beribadah,” katanya.

Sempat terjadi perdebatan kecil, termasuk dengan beberapa aparat dari Polsek Sumbergempol yang datang memantau kondisi kamtibmas di sekitar masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Menara itu. Nama masjid ini karena di sebelah selatan berdiri menara berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 30 meter.
Namun akhirnya Ali yang semula ditugasi menjadi muadzin mau menemui para tamunya. Dia pun meninggalkan sementara Salat Ied yang tetap digelar dengan imam Habib Hamid putra Habib Ahmad itu. Dengan diikuti sekitar 50 jamaah, terdiri atas 15 orang pria, sisanya wanita dan anak-anak. Usai Salat Ied jamaah pria serta wanita dan anak-anak langsung menggelar Kenduri Syawal yakni “kendurenan” dengan makanan yang dibawa masing-masing jamaah wanita.
Makanan dibagi rata kepada seluruh jamaah yang hadir, dengan wadah kertas. Beberapa di antara jamaah tampak langsung menyantapnya tanpa sungkan meski di sekitar lokasi masjid masih banyak warga yang puasa. Salah seorang warga di sekitar masjid mengatakan setiap tahun jamaah Al Muhdhor selalu melaksanakan puasa lebih awal tiga hari sehingga merayakan Lebaran pun lebih awal. Malam hari sampai pagi menjelang Salat Ied juga berkumandang takbir. “Tapi tahun ini takbir tidak dilakukan melalui pengeras suara, hanya di dalam masjid saja. Karena khawatir terjadi konflik di masyarakat,” tutur sumber yang enggan disebutkan namanya tadi.

Yayasan ini memiliki cabang di Lampung Tengah, Sumatera. Di sana jumlah jamaahnya jauh lebih banyak. Tidak heran jika anggota jamaah ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya di Pulau Jawa tapi juga Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan NTT.

Garis Keturunan Nabi

Salah seorang anggota jamaah Al Muhdhor, Sulton (42), warga Desa Trenceng Kecamatan Sumbergempol, menuturkan, dirinya tidak tahu dasar penetapan awal Ramadhan ini. “Sebagai pengikut hanya melaksanakan apa yang diajarkan guru,” papar Sulton yang mengaku menjadi jamaah sejak tahun 1980-an. Diungkapkan Sulton, para jamaah umumnya tertarik berguru kepada Habib Ahmad karena dia dipercaya memiliki garis keturunan langsung dengan Rasulullah Muhammad SAW. Karena itu jamaah yakin bisa mendapatkan ajaran Islam langsung dari garis keturunan Nabi, bukan dari ustadz atau ustadzah yang juga belajar dari orang lain. “Umumnya kita semua tertarik belajar di sini karena langsung pada keturunan Kanjeng Nabi. Bukan dari perantara,” ungkapnya.

Diingatkan MUI

Secara terpisah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tulungagung, KH Syafi’i Abdulrohman, ketika dimintai pendapatnya mengatakan, pihaknya sudah memantau keberadaan jamaah ini sejak tiga tahun lalu serta sudah memberikan peringatan kalau penetapan puasa lebih awal tanpa dasar yang jelas itu salah. “Berdasarkan keterangan Pak Hasyim (Kiai Hasyim, Red.) kami simpulkan kalau ajaran demikian sesat, karena ditentukan berdasarkan pengakuan dari wahyu Habib Ahmad,” kata KH Syafi’i ketika ditemui di ponpes asuhannya, Ponpes Panggung.

Selain itu Kiai Hasyim juga tidak berguru langsung kepada Habib Ahmad, yang telah meninggal sekitar 1997 silam. Wahyu tersebut, dari pengakuannya, diterima saat melakukan semedi di makam Habib Ahmad ketika dia menderita sakit. “Dia menerangkan kalau penyakit bisa sembuh tapi harus melaksanakan ajaran puasa lebih awal 3 hari,” katanya.

Karena itu, MUI memberikan peringatan kepada Kiai Hasyim agar mengembalikan ajarannya sesuai Syariat Islam. Bukan berdasarkan modifikasi pengalaman spiritual pribadi sebab hal itu bisa sesat. Namun dia mengelak kalau dinilai mengajak umat sebab pengikutnya sendiri yang mengikutinya. “Bahkan dia bersedia jamaahnya dibubarkan karena memang merasa tidak pernah mengajak melakukan demikian,” tegasnya.

Sore Ini NU Rukyat

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menunggu hasil rukyat (melihat bulan dengan mata telanjang, Red.) guna menentukan Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Rukyatul hilal akan digelar Senin 29 September 2008 sore ini.
“Ada 13 titik yang digunakan menjadi lokasi rukyat di Jawa Timur. Di antaranya di Slotreng Jember, Tanjung Kodok Lamongan, Malang, dan Bangkalan,” kata Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Ahad (28/9) kemarin.

Hasil rukyat tersebut nantinya dibawa ke sidang itsbat yang digelar di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Dalam rapat tersebut semua hasil rukyat dari seluruh Indonesia dibahas para ahli rukyat PBNU. Setelah itu jatuhnya Hari Raya Idul Fitri baru bisa dipastikan.

Menurut Kiai Miftach, satu saja hasil rukyat yang digelar pada 29 September itu menunjukkan adanya penampakan bulan, maka sidang isbat akan memutuskan hari raya pada tanggal 30 September. “Artinya, sidang ini sudah bisa dijadikan rujukan dalam mengambil dasar hukum penentuan hari raya,” ujarnya.
Sebaliknya jika dalam rukyat yang dilakukan pada 29 September belum berhasil melihat bulan, maka NU akan menggunakan metode istikmal, yakni menyempurnakan puasa selama 30 hari penuh. (sir/mi)